Wajah di Dalam Kanvas
Kutatap awan yang bergerak di atas sana, bergulung saling berkejaran.
Awan-awan itu sangat lamban. Saat itu tinggiku baru mencapai pinggang ibu,
mungkin empat tahun, aku tidak begitu tahu pasti. Awan-awan itu terlihat begitu
dekat. Seringkali aku melompat-lompat ingin meraihnya walaupun aku tahu bahwa
usaha tersebut sia-sia saja. Keinginan hatiku yang lebih besar untuk dapat
menyentuhnya selalu mengalahkan logika kecil ini. Di saat seperti itu Kakek dan
Nenek tertawa-tawa melihat tingkahku yang lucu. Mereka menggerak-gerakkan
mulut. Aku tahu mereka sedang mengatakan sesuatu, namun hanya gerakan yang aku
lihat. Tidak pernah aku mengerti apa yang mereka katakan, hingga usiaku 14
tahun.
Sekian tahun berlalu tanpa arti mendalam di masa kecilku, pasti karena
umurku masih terlalu muda untuk mengerti. Sehingga hari itu, hari dimana aku
menyadari bahwa hanya akulah yang tidak dapat berkomunikasi dengan orang-orang
di sekitar. Hari yang masih tergambar jelas di dalam ingatanku. Kuingat Ibu
membawaku ke dokter. Ia adalah seorang lelaki di balik seragam putih bersih,
yang kemudian selalu kupanggil Mbombo. Ia meraba telingaku, mengetuk-ngetuk
dengan jarinya, dan melakukan beberapa pemeriksaan yang sangat tidak aku
mengerti. Tubuhnya yang besar membuat aku ketakutan dan tangannya yang
memegang-megang telinga dan wajah rasanya ingin kugigit lalu berlari keluar dari
ruangan itu. Pemeriksaan itu rasanya tidak akan pernah berakhir. Kemudian Ibu
dan dokter itu, rona muka keduanya sangat serius. Lalu kulihat Ibu mengucurkan
air mata. Sebuah kepedihan yang sangat dalam tersirat dari wajah bulat itu.
Naluri kecilku mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah, tapi aku tidak
tahu. Ibu menggunakan jari-jarinya yang kasar untuk menyeka air mata. Mbombo
masih terus berbicara, kelihatannya penting, Ibuku hanya manggut-manggut. Rasa
takutku tiba-tiba hilang. Kuawasi keduanya dengan naluri yang tak pernah aku
gunakan sebelumnya.
Mulut pak dokter bergerak-gerak. Kepala Ibu menangguk-angguk banyak kali.
‘Ha! aku tahu!’ kataku dalam hati.
‘Ibu mengerti apa yang dikatakan Mbombo.’
Kucoba membuat wajah serius dan sedih seperti yang dilakukan Ibu, tapi air
mataku tidak dapat menetes dan kesedihan yang Ibu alami tidak dapat aku alami.
‘Mengapa aku tidak mengerti?’
Naluriku memperjelas masalah itu, ‘ Setiap orang menggerakkan mulutnya
kepada orang lain dan orang lain disekitar memperhatikan mulut yang bergerak
tersebut, lalu mereka mengerti. Namun mengapa aku tidak dapat mengerti satupun
dari semua gerakan mulut orang-orang sekitarku? Hanya gerakan tangan yang dapat
aku mengerti. Apa arti semua ini?’
Seharian aku bertanya-tanya di dalam hati. Kucoba untuk bertanya kepada Ibu
tetapi dia tidak dapat menjelaskannya kepadaku. Yang dia bisa hanyalah
menggerak-gerakkan mulut. Aku putus asa dan marah karena dia tidak dapat
menjawab pertanyaanku.
Keesokan harinya, aku dan anak tetangga yang seumur denganku sedang bermain
bersama. Ibunya datang menghampiri, temanku menengadah menggerakkan mulut
sementara si ibu tersenyum kemudian menggerakkan mulutnya. Ia memberikan sebuah
boneka pada kawan kecilku. Saat itu senyumnya manis sekali, semanis putri
kahyangan. Aku mendekati dia dan berkata,
‘Kau cantik sekali.’ Dia mengkerutkan keningnya. Kuulangi lagi,
‘Kau cantik sekali.’ Dia masih tidak
mengerti. Kubawa ia pada Ibu dan berkata,
‘Mama, Ibu ini cantik sekali.’ Namun
ibuku juga mengkerutkan kening. Aku hampir tidak percaya dan putus asa.
Kukatakan sekali lagi, kugerakkan mulutku, kutunjuk ibu itu, kutunjuk boneka
yang ia berikan kepada kawanku, kujelaskan bahwa ia sangat cantik waktu
tersenyum memberikan boneka itu pada anaknya.
‘Senyummu bahkan lebih manis dari senyum ibuku.’ Lalu semua orang tersenyum sangat lebar. Aku yakin mereka sangat bahagia.
‘Oh, akhirnya kalian semua mengerti.’ Hatiku lega. Mereka dapat mengerti aku.
Kami kembali bermain.
Di tengah keasyikan kami bermain, ibuku bersama ibu kawan kecilku datang
dari depan rumah membawakanku sebuah boneka yang sama dengan temanku. Aku
bahkan tidak sadar kapan mereka meninggalkan rumah. Namun bukan itu yang
membuatku menangis. Untuk pertama kali di dalam hidupku hatiku hancur, padahal
aku hanyalah seorang gadis kecil berusia 5 tahun. Hatiku perih tersayat-sayat.
Kugigit lidahku, kubiarkan air mata bercucuran di pipiku menerima boneka itu.
Ibu menggendongku dengan penuh kasih sayang . Di dalam pelukannya kuberkata,
‘Ibu, aku tidak meminta boneka ini. Aku bukan menangis karena bahagia. Aku
hanya bilang, Ibu itu cantik sekali waktu tersenyum memberi boneka pada
anaknya.’
Semenjak hari itu aku tidak begitu tertarik untuk pergi bermain bersama
kawan-kawan kecilku lagi.
‘Untuk apa? Kalian tidak dapat mengerti aku. Bahkan ibuku sendiri tidak.’
Kuhabiskan hari-hariku menyaksikan teman-teman bermain dari balik jendela
rumah. Karena letaknya yang sangat strategis, aku hampir dapat menyaksikan
setiap orang yang lalu lalang, anak-anak sekolahan bermain di lapangan, lapangan
volley tempat orang dewasa bermain pada sore hari, dan anak-anak ayam yang
mengikuti induknya mengais-ngais tanah mencari makan. Di pangkuanku selalu
setia menemani boneka plastik kesayangan pemberian Ibu, boneka yang tidak
pernah aku dambakan.
Menonton kehidupan manusia tidak pernah membosankan, apalagi dihiasi dengan
alam. Bila banyak orang hanya mempunyai satu tanggapan terhadap sampah, kotor,
maka aku dapat melihat segi keindahan sampah. Menyaksikan kehidupan dari balik
jendela rumahku, sepanjang waktu, setiap hari, membuat mataku dapat melihat
segi artistik dari semua kehidupan. Aku bahkan dapat menikmati menyaksikan
kucing tetangga yang sedang jongkok mengerang mengeluarkan kotoran. Semakin
lama memandang, kehidupan yang ada di depanku bergerak semakin lamban. Bahkan
suatu saat aku dapat merasakan kehidupan itu berhenti. Mematung di sudut yang
sangat indah. Dan pada saat itulah aku selalu tersenyum sendiri. Kubiarkan
pemandangan itu di depan mata dan pikiranku berlama-lama. Sangat indah.
Menakjubkan. Mempesonakan. Hanya itu pulalah kenyataan yang tidak membuat ibuku
khawatir akan keberadaanku. Bila aku meloncat-loncat gembira menyaksikan
keindahan itu, ia tersenyum. Ia mengerti aku masih dapat berbahagia dalam
kesendirianku.
Di hari ulang tahunku yang ke-6, kulepaskan Momo, boneka plastikku. Ibu
membeli sebuah tas lengkap dengan isinya. Aku tidak pernah ke sekolah, namun
aku merasa berada di sekolah, di balik jendela rumah. Yang paling pertama
kutarik adalah buku polos dan crayon. Kugoreskan kehidupan yang terhenti itu di
dalamnya. Sangat polos, namun menakjubkan untuk seorang anak seperti aku.
“Apa yang kira-kira ia gambar?” kata seorang wanita berbisik di sisi kanan
belakangku.
Aku melirik ke arahnya untuk melihat sekilas. Ia telah membuyarkan
lamunanku.
“Belum tahu pasti,” jawab pria dibelakangnya.
Mereka terlihat seperti pasangan orang penting dalam acara showku yang
pertama ini. Mereka kelihatan kurang cocok dimana si wanita terlalu cantik dan
sangat muda untuk si lelaki yang pendek, gemuk dengan wajah berparut itu. Tapi
yang pasti si lelaki memperlihatkan kecemerlangannya. Seorang wanita di samping
mereka yang mengenakan pakaian berwarna hijau pudar menaruh telunjuknya di bibir.
‘Terima kasih,’ ucapku dalam hati.
‘Pusatkan pikiran!’
Dalam hitungan kesepuluh aku kembali pada lukisanku.
Mengilustrasikan perjalananku dalam melukis.
Suatu sore yang indah, seperti biasa para tetangga berkumpul di lapangan
volley. Setelah menonton mereka beberapa menit, terbersit niatku melukis
pemandangan indah itu, dimana mereka kelihatan ceria berlari-lari menerima bola
yang keras, lalu mengarahkan ke depan, setelah itu bola melambung di depan net
yang kemudian seorang yang berada di baris depan berlari kencang dan melompat
memukul bola dengan keras ke arah lawan. Kuperlihatkan hasil lukisan itu pada
Ibu. Ia membelalakkan mata hampir tidak percaya. Dengan bangga Ibu menari-nari
sambil memamerkan lukisanku pada para tetangga yang juga terkagum-kagum. Ibu
menggendongku di atas pundaknya layaknya seorang ratu. Aku merasa bangga sekali
dengan kebahagiaan yang baru saja aku berikan pada Ibu. Karena ia sangat
menyukainya, kuperkenankan Ibu menyimpan gambar itu.
Aku tak pernah tahu apa yang ia lakukan pada gambarku. Suatu hari ia datang
membawa sebuah tabloid dan memperlihatkan sebuah gambar. Hatiku terlonjak
girang saat menyadari bahwa itu adalah gambar yang aku buat.
Perhatian Ibu pada potensiku sangat tinggi. Ia selalu memastikan aku
mendapatkan cukup kertas dan crayon. Tidak hanya sampai di situ, di saat umurku
bertambah, ia membelikan peralatan melukis yang baru. Mulai dari pewarna air,
cat air, cat minyak, hingga kertas berukuran sangat besar, kain dan semua
perlengkapan yang aku butuhkan. Kadang aku berpikir, bagaimana caranya ia
dapatkan semua ini? Setiap kali aku selesai menggambar sebuah lukisan yang
indah, Ibu selalu menyimpannya. Aku mengerti ia akan mengirimkannya lagi untuk
dimuat di tabloid, namun hal itu tak pernah terjadi lagi. Kadang aku berpikir
mungkin ia memajangnya atau menyembunyikan di suatu tempat, namun tidak pernah
dapat kutemukan. Hanya satu yang aku tahu, semenjak aku melukis setiap hari,
ibu sering ke luar rumah dan pulang membawa oleh-oleh untukku. Kami selalu
makan enak dan ibu sering membelikan aku pakaian yang indah.
Suatu hati aku bertanya tentang kemana gerangan semua lukisanku. Ibu
menjawab, tapi tentunya aku pura-pura mengerti walaupun sebenarnya aku tidak
mengerti. Keesokan harinya Ibu malah datang dengan seorang lelaki asing.
Lelaki itu tidak membuat aku takut sama sekali. Wajahnya bersahabat,
senyumnya manis dan ubannya satu persatu menjorok dari rambutnya yang kejung.
Ia sangat tertarik dengan apa yang ia lihat di kamarku. Dinding kamar aku lukis
dengan bunga-bungaan, rumput dan binatang-binatang kecil. Kupu-kupu adalah
favoritku. Aku kira hal yang aku lakukan pada kamarku itu adalah hal yang wajar
dan semua anak bisa melakukannya. Dinding rumah bagian dalam semuanya tergores
indah bagaikan taman. Aku tidak tahu bahwa ternyata gambar-gambar itu sangat
istimewa.
Lelaki asing itu perlahan-lahan menyiapkan sebuah kanvas kosong, mengambil
alat-alat yang aku biarkan berserak di atas meja warna-warni hasil tumpahan
bahan pewarna. Ia mengambil kuas dan kemudian menggoreskannya di atas kanvas.
Ia memandang ke arahku dan menggerakkan mulut. Aku mencoba mengerti apa yang ia
katakan, aku tidak tahu. Tapi ia memulai lukisannya tepat di tengah-tengah
kanvas dan menunjuk bagian bawah dan atas, seolah-olah ia berkata ini untukmu
dan ini untukku.
‘Kau ingin aku melukis denganmu?’
Aku pun mendekatinya, menempatkan diriku tepat di depannya, menarik sebuah
kuas baru dari kaleng cat minyak yang kosong, lalu aku menyatukan diri
dengannya. Ia menggoreskan sesuatu, aku membuat garis panjang. Ia menggambar
lagi, dan aku menirunya. Lagi dan lagi. Hasilnya?
Kami telah menciptakan sebuah gambar rumah di bawah naungan matahari,
lengkap dengan bayangannya di dalam air sungai yang bening. Ia menggambar
rumahnya dan mataharinya sedangkan aku menciptakan sungai dan bayangannya.
Kenangan awal itu begitu manis membuatku sadar bahwa aku mempunyai teman,
aku tidak akan lagi sendiri di dalam duniaku. Waktu itu aku berumur sepuluh
tahun.
Lukisan tersebut telah mengubah hidupku selamanya. Satu jam yang lalu waktu
memasuki gedung ini, lukisan itulah yang pertama kali aku lihat. Setiap
pengunjung mau tidak mau harus melihat gambar ini, karena mereka meletakkannya
tepat di depan pintu masuk. Bersendirian terpampang dengan bangga berkata,
“Disinilah aku ditemukan.”
Lelaki asing yang kemudian aku panggil Baba itu menjemputku setiap pagi
dari rumah dan hanya akan mengantarku pulang setelah makan siang. Kami hanya
melukis dan melukis. Ia memperkenalkanku pada beberapa tekhnik. Sekali-kali
membawa aku jalan-jalan ke kota, ke gunung, ke sungai dan ke banyak tempat, dan
bahkan sekali-kali kami ke sanggar tari, theater dan banyak lagi. Sepulangnya
kami akan menggambar lagi. Tak kusangkal kebahagiaan yang ia ciptakan untukku.
Namun hanya ada satu hal yang belum pernah dapat aku jawab.
‘Mengapa tiada seorang pun yang dapat mengerti apa yang kuinginkan
seketika itu juga? Cara mereka memandangku sangat beda dengan cara mereka
memandang satu sama lain. Mengapa?’
Di hari ulang tahunku yang kesebelas, kutuangkan perasaan ini di dalam lukisan.
Baba memandang lukisan itu sangat lama. Aku mencoba menjelaskan kepadanya.
Dengan menggerakkan mulut, dengan tangan, dengan air mata. Akhirnya ia
mengerti. Detik itu juga ia membawaku ke sebuah tempat yang belum pernah aku
kunjungi. Sebuah klinik.
Aku tidak mengerti apa yang ia lakukan dan apa yang telah menjadi
pembicaraan kedua orang itu. Mbombo setengah baya berjubah putih membawa kami
keruangan kecil yang tertutup dan penuh dengan alat-alat yang tidak aku
mengerti.
Aku diminta duduk di depan Mbombo. Ia menggerakkan mulut ke arah telingaku
beberapa kali. Kemudian ia mengambil sebuah benda dan menempelkannya di
telingaku. Aku sedikit ngeri. Selang beberapa waktu, satu hal yang tidak pernah
aku kenal sebelumnya terjadi.
Telingaku berdengung. Aku ketakutan. Seluruh tubuhku seperti disengat
listrik.
‘Apa ini?’ Aku beranjak dari kursi dan melotot pada kedua orang yang
tersenyum. Mengherankan sekali, bahagia dengan ketakutanku. Aku melepaskan alat
itu dari telinga.
‘Apa itu tadi Baba?’ Baba mencoba menjelaskan sesuatu kepadaku,
namun aku tidak dapat mengerti.
‘Apakah ini jawabanmu terhadap lukisanku? Apa yang kau katakan?’ Kulihat
Baba berusaha keras menjelaskan padaku. Kugelengkan kepala.
‘Aku tidak mengerti, Baba. Aku tidak mengerti apapun yang ada di sekitarku.
Aku bahkan tidak mengerti apa yang kau katakan saat ini.’
Semenjak saat itu, Baba membawaku ke tempat yang sama berkali-kali. Hingga
pada suatu hari ia memberikan aku bingkisan indah berwarna merah. Terbungkus
rapi dalam sampul yang sangat unik. Bingkisan tersebut berisi alat yang aku
mengerti untuk diletakkan di telinga, karena sama dengan yang di klinik. Hanya
saja yang ini lebih kecil ukurannya, dan bisa aku bawa kemana-mana. Baba
memasangkannya di telingaku. Seketika ketakutan yang aku rasakan di klinik
berubah menjadi sensasi yang membuat bulu kudukku berdiri.
‘Aku mendengar bunyi, irama, nyanyian yang sangat indah.’ Sebuah
cicitan yang tak pernah aku dengar. Kucari asalnya, kulihat ke atas, dan bunyi
itu tak salah lagi berasal dari sangkar burung. Baba menurunkan sangkar burung
itu dan mengangguk. Aku berkata,
‘Baba, bunyi burung ini ………’ Seketika
aku terhenyak. Sepertinya aku baru saja mendengar diriku sendiri.
“Baba, Ou ou wa wa mbo mbo!” Hanya begitu bahasaku.
‘Apakah itu bunyiku sendiri?’ Aku
menganga sambil bertanya di dalam hati. Baba menatapku dengan sangat bijaksana,
walaupun ia kelihatannya mengerti namun aku yakin dia tidak dapat membayangkan
perasaanku pada saat itu. Kututup mulutku dengan perasaan malu.
“Ya, itu suaramu sendiri,” Baba berkata lembut. Pada saat itu aku belum
mengerti arti ucapannya.
‘Tapi Baba, aku hanya bisa ou ou wou wu sementara suaramu berirama
seperti burung.’
“Uu wooowo.” Aku takut mendengarkan suaraku. Mengerikan, sementara
suara Baba berirama seperti burung itu. Suara Baba berpola, tapi aku tidak.
‘Bunyi, suara. Dunia ini penuh dengan bunyi yang tidak pernah aku dengar.
Mereka punya irama, aku tidak. Aku tidak pernah mendengar irama mereka, aku
bahkan tidak pernah sadar bahwa aku juga memiliki bunyi, seperti burung itu.
Hanya saja burung itu begitu merdu dan aku, oh ……’
“Uuuuuuuuuu ….” Aku menangis mendengar suaraku yang buruk. Aku menangis
karena butuh 12 tahun untukku sehingga bisa menikmati indahnya bunyi alam.
‘Mengertilah apa yang ingin aku katakan Baba, aku mendengarmu. Aku
mengerti. Aku tidak punya iramamu, irama ibu dan irama orang-orang sekitarku.
Dan Baba, suaraku buruk sekali.’
Mungkin Baba mengerti bahasa air mataku. Ia mendekapku saat melihat air
mata mengalir dari pipiku. Lalu ia memeluk dan menciumku bagaikan seorang ayah.
‘Beginikah suaraku saat menangis?’ Aku terisak-isak. Untuk kedua kalinya hatiku hancur. Pantas mereka
memperlakukan aku berbeda, karena aku memang berbeda.
Mulai hari itu pelajaran yang aku dapatkan bukan hanya melukis, tetapi juga
irama bahasa. Melatih lidahku menggunakan bahasa indah ini. Bagaikan seorang
bayi yang baru dilahirkan dari dunia. Perlahan-lahan aku pun belajar membaca,
berhitung dan segala sesuatu yang seharusnya telah kupelajari di sekolah dasar
6 tahun yang lalu.
“Oh, siapa gadis kecil itu?” tanya wanita tadi sambil berbisik.
“Sssst!” jawab yang ditanya. Aku dapat merasakan bahwa ini merupakan
pengalaman pertama wanita tadi ke tempat seperti ini.
‘Ah, akhirnya selesai juga.’
Kububuhkan tanda tangan di atas kanvas mengakhiri lukisan ini.
“Mirna, apakah arti lukisan ini?” tanya seseorang dari belakang.
“Menatap Aura Kehidupan!” jawabku lantang yang kemudian diikuti oleh tepuk
tangan para hadirin.
Di dalam sana terlukis wajahku yang kagum saat pertama kali menyaksikan
aura kehidupan. Menatap gambar yang tak seorangpun mampu visualisasikan selain
aku. Mata yang ada di dalam sana adalah mata lebar seorang gadis cilik, dari
balik jendela rumah lamaku, memandang detak waktu yang terhenti. Tanpa bunyi,
tanpa suara, tanpa senandung merdu alam raya ini. Alam bisu.
“Mir – na – wa – ti “ Saat kutatap
lukisan itu sekali lagi, aku teringat saat pertama kali aku mencoba menyebutkan
namaku. Dengan suara yang gagap dan lidah yang sangat kaku untuk digerakkan.
“Ini dia bidadari kecilku,” Om Jepri yang masih sering kupanggil Baba
datang dengan seseorang yang belum pernah aku kenal sebelumnya.
“Mirna! Ini Pak Hasan. Pak hasan! Mirnawati.” Kami tersenyum satu sama lain
dan berjabatan tangan.
“Mirna, Pak Hasan ini menawarkan untuk memasarkan lukisanmu yang
berikutnya.” Aku mengkerutkan kening meminta penjelasan lebih.
“Lukisan yang sekarang sudah habis terjual seluruhnya, dan permintaan masih
banyak. Untuk itu, Pak Hasan akan mempersiapkan showmu yang kedua. Dan yang ini
harus dalam persiapan yang lebih matang.” Aku hampir tidak percaya apa yang
baru saja kudengarkan.
“Dan tentunya lebih bergengsi,” Pak Hasan menambahkan kalimat Om Jepri.
“Kapan?”
“Maret tahun depan, di Kinabalu.” Aku terperangah.
‘Sampai sejauh itukah lukisanku melanglang?’ Beberapa menit
berbasa-basi kami berpamitan. Aku pergi menjumpai para pengunjung lain,
melayani pertanyaan mereka satu persatu, walaupun dengan bahasa yang tidak
selancar mereka, namun setidaknya aku dapat mengerti mereka dan mereka dapat
mengerti aku.
Di akhir acara, kulepaskan alat bantu dengar yang setia bertengger di
telingaku saat berbicara kepada orang lain. Kukelilingi show room ini dan
menatap lukisanku satu persatu. Di dalam sana, aku berada suatu waktu yang
lalu. Tanpa suara. Bila kutatap lagi lebih dalam, kadang aku ingin kembali
berada didalamnya. Dunia tanpa suara yang sepi sebenarnya sangatlah indah, dan
penuh arti. Kadang aku dapat melihat angin dan menciumnya. Kadang kulihat aura
setiap orang yang mencerminkan hati mereka. Dunia ini mempunyai sisi yang lain,
seperti di dalam lukisan itu. Gerakannya bagaikan sebuah slow motion yang dapat
aku goreskan ke dalam kanvas ini. Dan dunia itu pulalah yang telah memberiku
berkah yang sangat besar ini.
Komentar
Posting Komentar